Oleh William Chang | Kompas

TERLEPAS dari maksud baik apapun, dampak negatif pemberlakuan Ujian Akhir Nasional (UAN) tak terelakkan. Tindak kekerasan (perusakan sekolah) dan meneguk minuman keras termasuk reaksi atas ketidaklulusan menempuh UAN 2004 (Kompas, 15/6/2004). Selain itu, metode "penilaian" hasil ujian siswa (baca: "pelulusan", "penguntungan" dan "perugian" siswa) perlu dipertanyakan.

Ketajaman intelektual mendapat sorotan istimewa dalam dunia pendidikan formal. Terkesan, keunggulan (arête, virtue) kepribadian seorang anak didik ditakar berdasarkan relativitas angka yang umumnya telah direkayasa. Secara tak langsung, dari satu sisi, sistem ini lebih menghargai pribadi anak-anak berintelektualitas tinggi daripada anak-anak berintelektualitas sedang dan rendah. Ini termasuk berita diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.

Demi perbaikan dunia pendidikan, sistem (penilaian) UAN perlu lebih dicermati. Pertama, model soal multiple choice acapkali membingungkan dan model ini dari satu sisi mengajar anak didik untuk berspekulasi dan mereka-reka dalam hidup. Kedua, metode konversi (jelmaan dari sistem "katrol-katrolan") perlu ditinjau ulang, sebab metode ini membuka peluang luas untuk mempermainkan (baca: menyulap) hasil keringat dan perasan otak siswa. Bukan mustahil, kesempatan berpolitik uang akan bertumbuh subur dalam dunia pendidikan formal. Ketiga, anak didik tidak dihadapkan dengan realitas hidup dan hasil perjuangannya sendiri, namun anak-anak didik diperkenalkan dengan budaya rekayasa.

Sistem penilaian UAN pada dasarnya mendidik anak-anak kita untuk mengubah sesuatu tanpa memperhatikan hak pihak lain. Merugikan pihak lain tanpa landasan yang adil. Suatu keberhasilan semu diperoleh tidak melalui proses normal, melainkan melalui sistem spekulatif yang berciri untung-untungan. Ketidakadilan muncul dalam dunia pendidikan formal karena siswa yang berhak menerima nilai semestinya merasa dirugikan oleh sistem.
Sementara itu, terdapat sejumlah siswa diuntungkan oleh sistem ini. Anak didik tidak diajar untuk menghargai hak orang lain sebagaimana mestinya. Biarkan anak didik sendiri yang menentukan hasil keringat mereka tanpa manipulasi yang merugikan dan menguntungkan. Apakah pencapaian 4,01 dengan sendirinya telah menjamin kualitas anak didik dalam dunia pendidikan?

Pribadi berintegritas

Relativitas dimensi intelektual dalam pendidikan formal memang tak tersangkalkan. Akibatnya, kualitas kepribadian anak didik tidak cukup hanya ditakar berdasarkan intelektualitas yang di-angka-kan melalui sistem penilaian tertentu. Secara ideal dan teoretis, dunia pendidikan diharapkan bisa mempersiapkan anak didik berkepribadian integral yang menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dasar hidup manusia.

Integritas kepribadian anak didik seharusnya mengenal dan memiliki suatu sistem intelektualitas yang saling terkait (interdependent multiple intelligence) yang perlu diperkenalkan dan ditanamkan dalam dunia pendidikan formal (Bpk. Teori multiple intelligence Howard Gardner). Anak didik yang berintelektualitas integral sanggup berkomunikasi dengan diri-sendiri, sesama dan lingkungan hidup sambil memperhatikan nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggiDimensi moralitas jadi bahan pertimbangan dalam pola pikir, bicara dan tindak-tanduk. Suatu pemikiran yang terpaut dengan kenyataan dan pengalaman hidup sangat dibutuhkan. Sistem penilaian UAN secara tak langsung mengajar anak didik untuk mencapai nilai tertentu tanpa mempertimbangkan dimensi moral metode yang diterapkan pada penilaian.

Makna intelektualitas integral direduksi melalui proses penilaian yang terkait dengan angka-angka yang ditentukan oleh pihak lain menurut standar yang dianut. Anak didik berintelektualitas sehat dengan sendirinya menilai sistem penilaian UAN tidak adil dan merugikan pihak yang berhak untuk memperoleh nilai lebih. Anak didik yang belajar sungguh-sungguh akan dirugikan, sedangkan anak didik yang malas belajar akan diuntungkan. (Kompas, 15/6/2004).

Pendidikan holistik

Ke arah manakah pendulum dunia pendidikan formal kita? Metode penilaian UAN mengandung unsur manipulasi pihak yang berkompetensi dalam menentukan hasil usaha dan perjuangan anak didik. Yang lebih tragis adalah pendidikan ketidakadilan di kalangan anak- anak didik. Secara tak sadar dunia pendidikan formal kita sedang mempersiapkan dan melahirkan generasi muda yang menghalalkan sistem "katrol-katrol"-an, mengubah realitas menurut maksud manusia, merugikan pihak lain tanpa rasa bersalah dan diuntungkan dengan jalan haram.

Sistem penilaian UAN perlu mempertimbangkan kerangka holistik pendidikan tanpa meninggalkan cara pandang berperspektif interdisipliner dalam suatu konteks keseluruhan yang membantu manusia untuk lebih memahami dan menyelami makna pendidikan humaniora. Dikotomi klasik yang memisahkan otak- hati, pengetahuan-agama, keindahan-fungsi segera ditinggalkan karena pendekatan ini akan menimbulkan fragmentasi dalam hidup manusia.

Betapapun, metode penilaian UAN perlu ditempatkan dalam bingkai dunia pendidikan holistik tempat manusia belajar hidup bersama dengan yang lain. Ruang kelas menjadi sebuah komunitas. Dunia pendidikan menjadi tempat bagi manusia untuk mengembangkan hubungan-hubungan baik, adil, terbuka, jujur, saling menghormati, tak merugikan pihak lain. Pendidikan ini tidak lagi memprioritaskan kompetisi, tapi proses belajar saling mendukung, kerja sama dan membebaskan. Suatu masyarakat yang lebih baik, adil dan sejahtera menjadi sasaran utama dalam proses pendidikan holistik. Lalu, apakah sistem penilaian UAN mendapat tempat dalam konteks pendidikan ini?

William Chang Pengamat sosial, tinggal di Pontianak